Sabtu, 15 Agustus 2009

ASKEP GASTRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS
A. PENGERTIAN
Gastritis adalah imflamasi mukosa lambung, sering akibat diet yang sembarangan. Biasanya individu ini makan terlalu banyak atau terlalu cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau mengandung mikroorganisme penyebab penyakit. ( Smelzer 2002 )
Gastritis kronis adalah imflamasi lambung yan lama dapat disebabkan oleh ulku benigna atau maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobacter pylory ( H. pylory ) ( Smelzer, 2002 )
Gastritis Akut adalah dapat diatasi dengan mengintruksikan pasien untuk menghindari alcohol atau makanan yang banyak mengandung bumbu sampai gejala berkurang. ( Smelzer, 2002 )
Gastritis adalah imflamasi dari mukosa lambung gambaran klinis yang ditemukan berupa dyspepsia atau indigesti. Berdasarkan Eudaskopi ditemukan entema mukosa, sedangkan hasil foto memperlihatkan iregularitas mukosa. ( Dongoes, 2000 )
Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, difus atau local. Dua jenis gastritis yang paling sering terjadi yaitu gastritis supervisial akut dan gastritis atrofik kronik. ( Price and Wilson, 1995 )
B. ETIOLOGI
Penyebab penyakit Gastritis antara lain :
a) Obat-obatan, Aspirin, Obat anti Inflamasi non steroid ( AINS )
b) Alkohol dan stress
c) Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar, sepsis
d) Refluk dari usus kelambung
e) Endotoxin
Secara makroskopik terdapat lesi erosi mukosa dengan lokasi berbeda, jika ditemukan pada korfus dan tundus biasanya disebabkan oleh stress. Jika disebabkan karena obat-obatan AINS, terutama ditemukan didaerah antrum, namun juga dapat menyeluruh. Sedangkan secara mikroskopik terdapat eresi dengan degenerasi epitel dan ditemukan reaksi sel inflamasi neutrofil yang minimal.( Mansjoer, 2000 )
C. PATOFISIOLOGI
a. Grastitis Akut
Membran mukosa lambung menjadi edema dan heperemik ( kongesti dengan jaringan , cairan dan darah ) dan mengalami erosi surperfisial , bagian ini mensekresi sejumlah getah lambung yang mengandung sangat sedikkit asam tetapi banyak mucus. Laserasi superfesial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi. Pasien dapat mengalami ketidaknyamanan. Sakit kepala, malas , mual dan anoretia, pasien asimtomatik.
Mukosa lambung mampu memperbaiki diri sendiri setelah mengalami gastritis. Kadang-kadang hemoragi memerlukan intervensi bedah. Bila makanan pengiritasi tidak dimuntahkan tetapi mencapai usus, dapat mengakibatkan kolik dan diare. Biasanya pasien sembuh kira-kira sehari. Meskipun nafsu makan menurun selama 2-3 hari.
b. Gastritis Kronis
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung atau maligna dari lambung atau oleh bakteri helicobactery pylory ( H. pylory ) Gastritis Kronis dapat diklasifikasikan sebagai tipe A / tipe B, tipe A ( sering disebut sebagai gastritis automun ) diakibatkan dari perubahan sel parietal, yang menimbulkan atrofi dan infiltrasi seluler. Hal ini dihubungkan dengan penyakit autoimun seperti anemia pernisiosa dan terjadi pada fundus atau korpus dari lambung. Tipe B ( kadang disebut sebagai gastritis H. Pylory ) mempengaruhi antrum dan dan pylorus ( ujung bawah lambung dekat duodenum ) ini dihubungkan dengan bakteri Pylory. Factor diet seperti minum panas atau pedas, penggunaan atau obat-obatan dan alcohol, merokok, atau refluks isi usus kedalam lambung.
( Smelzer, 2002 )
E. MANIFESTASI KLINIS
Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung, muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula pendarahan/ hemoragi saluran cerna berupa hematemesis dan melena. Kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia paska perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam terdapat riwayat penggunaan obat-obatan atau kimia tertentu, dan juga bisa disebabkan oleh stress. ( Mansjoer, 2000 )
F. PEMERIKSAAN PENUJANG
Gastritis tipe A dihubungkan dengan aklorhida atau hipoklorhida ( kadar asam hidro klorida tidak ada atau rendah ), sedangkan gastritis tipe B dihubungkan dengan hiperkherhida ( kadar tinggi dari asam hidroklorida ). Diagnosis dapat ditentukan dengan endoskopi, Serangkaian pemeriksaan sinar- X gastrointestinal atas, dan pemeriksaan histologis. Tindakan diagnostic untuk mendeteksi H. Pylory mencakup tes serologis untuk anti bodi terhadap anti gen H. pylory dan tes pernafasan.
( Smelzer, 2002 )





G. PENATALAKSANAAN
Gatritis akut diatasi dengan mengintruksikan pasien untuk menghindari alcohol dan makanan sampai gejala berkurang. Bila pasien mampu makan melalui mulut, diet mengandung gizi dianjurkan. Bila gejala menetap cairan perlu diberikan secara parenteral. Bila perdarahan terjadi maka penatalaksanaan adalah serupa dengan prosedur yang dilakukan untuk hemoragi saluran gastrointestinal atas. Bila gastritis diakibatkan oleh mencerna makanan yang sangat asam atau alkali, pengobatan terdiri dari pengenceran dan penetralisasian agen penyebab.
a. Untuk menetralisasi asam lambung digunakan antasida umum ( mis, aluminium hidroksida ), untuk menetralisasi alkali digunakan jus lemon encer atau cuka encer.
b. Bila korosi luas atau berat, emetic dan levase dihindari karena bahaya perforasi.
Terapi pendukung mencakup intubasi, analgesic, dan sedative, antasida serta cairan intravena. Eudoskopi fiberoptik mungkin diperlukan. Pembedahan darurat mungkin diperlukan untuk mengangkat gangrene atau jaringan perforasi. Gastrojejunostomi atau reaksi lambung mungkin diperlukan untuk mengatasi distruksi pylorus.
Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet pasien, meningkatkan istirahat, megurangi stress, dan memulai farmakoterapi. H. Pylory dapat diatasi dengan antibotik ( seperti tetrasiklin atau amoxilin ) dan garam bismuth. Pasien dengan gastritis A biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 yang disebabkan oleh adanya antibody terhadap factor intrinsic.
( smelzer, 2002 )





BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala pada pasien. Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual, muntah? Apakah gejala terjadi pada wktu kapan saja, sebelum atau sesudah makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu atau alkohol?Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan atau minum terlalu banyak, atau makan terlalu cepat? Bagaimana gejala hilang? Adakah riwayat penyakit lambung sebelumnya atau pembedahan lambung? Riwayat diet ditambah jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam, akan membantu. Riwayat lengkap sangat penting membantu perawat untuk mengidentifikasi apakah kelebihan diet atau diet sembarang yang diketahui, berhubungan dengan gejala saat ini, apakah orang lain dalam lingkungan pasien muntahkan darah dan apakah elemen penyebab yang diketahui telah tertelan.
Tanda yang diketahui selama pemeriksaan fisik mencakup nyeri tekan abdomen, dehidrasi ( perubahan lurgor kulit ), membrane mukosa kering, dan bukti adanya gangguan sistematik dapat menyebabkan gejala gastritis, lamanya waktu dimana gejala saat ini hilang dan metode yang digunakan oleh pasien untuk mengatasi gejala serta efek-efeknya juga diidentifikasi.
( Smelzer, 2002 )
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan semua data pengkajian, diagnosa perawat utama mencakup hal berikut :
a) Ansietas berhubungan dengan pengobatan
b) Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan masukan nutrient yang tidak adekuet
c) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan tidak cukup dan kehilangan cairan berkelebihan karena muntah
d) Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit
e) Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi
( Smelzer, 2002 )
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa lambung (gaster).
Outcome yang diharapkan: klien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan perawatan selama …… Nyeri klien dapat hilang/berkurang dengan criteria :
a Klien tampak tenang, tidak mengeluh nyeri epigastrik
b Tidak mengalami nyeri epigastrik.
c Skala nyeri (nyeri ringan)
d Tanda vital normal a Catat adanya keluhan nyeri epigastrik (sensasi ulu hati seperti terbakar/panas), perih
b Motivasi klien untuk tidak telat makan. Makan makanan ringan bila di antara waktu makan perut terasa perih.
c Observasi ada keluhan lain yang menyertai seperti mual/muntah, perut kembung
d Observasi tanda vital
e beri obat-obatan sesuai program medis *)

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan (resiko) berhubungan dengan masukan nutrient yang tidak adekuat
Outcome yang diharapkan: Klien memperlihatkan stats nutrisi yang adekuat, KH.






Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan criteria :
a BB klien dalam statas normal ( 10-15% BB ideal)
b Nilai-nilai lab dbn (terutama Hb, creatinin, prot total, albumin)
c Secara klinis memperlihatkan tanda conjungtivitis, tidak anemis, tonus otot +
d Intake menghasilkan nutrisi setidaknya 3x sehari porsi penuh a Catat adanya keluhan mual/muntah, anoreksia
b Anjurkan klien untuk modifikasi diit (porsi sedikit demi sedikit tapi sering)
c Rencanakan pengaturan diit dengan libatkan klien dan ahli gizi (kebutuhan kalori, variasi menu)
d Pantau intake nutrisi klien
e berikan obat-obatan bila ada indikasi sesuai program

3. Resiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan yang tidak cukup, pengeluaran cairan yang berlebihan (muntah/mual) Kebutuhan cairan terpenuhi dengan kriteria

a tanda-tanda vital stabil,
b membran mukosa lembab, turgor kulit baik,
c haluaran urine stabil. a. Catat karakteristik muntah dan banyaknya pendarahan
b. Kaji tanda-tanda vital (TD, nadi, suhu)
c. Monitor intake dan output cairan
d. Tinggikan kepala selama minum obat
e. Berikan cairan jenuh/lembut jika masukan dimulai lagi, hindari minuman yang berkafein dan berkarbon
f. Pertahankan tirah baring
g. Kolaborasi dengan pemberian cairan sesuai indikasi


4. Ansietas berhubungan dengan pengobatan Cemas pasien berkurang dengan criteria

a Menyatakan rentang perasaan yang tepat
b Menunjukan rileks laporan ansietas berkurang a Awasi respon fisiologis mis: takipnea palpitasi pusing
b Dorong pernyataan takut dan ansietas
c Dorong orang terdekat untuk menemani pasien

d Berikan kesempatan klien untuk mengekapresikan perasaan cemasnya pada orang terdekat
e Tunjukan teknik relaksasi
5. Kurang pengetahuan tentang pelaksanaan diet dan proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi dan kesalahan interpretasi informasi Pasien dapat mengerti tentang diet dan proses penyakit dengan criteria :
Menyatakan pemahaman tentang diet dan proses penyakit a Gali pengetahuan klien tentang diet dan proses penyakit
b Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet pasein
c Jelaskan tentang proses penyakit dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien
d Tanya pasein tentang hal yang telah dijelaskan petugas

Prisip intervensi:
1) Mengurangi ansietas bila pasien mencerna asam atau alkali, maka tindakan
darurat diperlukan, terapi pendukung diberikan pada pasien dan keluarga selama pengobatan dan setelah mencerna asam atau alkali yang telah dinetralisasi atau diencerkan. Pasien perlu disiapkan untuk pemeriksaan diagnostic ( endoskopi ) atau pembedahan ansietas karena nyeri dan modalitas pengobatan biasanya timbul demikian juga ras takut terhadap kerusakan prmanen pada esophagus.
2) Meningkatkan nutrisi. Untuk gastritis akut dukungan fisik dan emosi diberikan dan pasien dibentuk untuk menghadapi gejala yang dapat mencakup mual, muntah, sakit ulu hati dan kelelahan makanan dan cairan tidak diijinkan melalui mulut selama beberapa jam/ beberapa hari sampai gejala akut berkurang.
3) Meningkatkan keseimbangan cairan. Masukan dan haluara cairan setiap hari dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda dehidrasi haluaran urin minimal 30 ml/jam, masukan minimal 1,5 l/hari bila makanan dan minuman ditunda cairan intravena 3 l/hari masukan cairan ditambah nilai kalori diukur 1 L 5 % dektrosa dalam air + 170 kalori karbohidrat ) nilai elektrolit ( natrium, kalium klorida ) dapat dikaji selama 24 jam untuk mendeteksi indicator awal ketidakseimbangan.
4) Menghilangkan nyeri. Pasien diinstruksikan untuk menghindari makanan dan minuman yang dapat mengiritasi mukosa lambung perawat mengkaji tingkat nyeri dan kenyamanan pasien setelah penggunaan obat-obatan dan menghindari zat pengiritasi.
5) Pendidikan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah. Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi sehingga rencana penyuluhan dapat bersifat individual. Diet diresepkan dan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan kalori harian pasien, makanan yang disukai dan pola makan.
( Smelzer, 2002 )
D. TINDAKAN KEPERAWATAN
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien gastritis.
( Dongoes, 2000 )
E. EVALUASI
Hasil yang diharapkan
a. Menunjukan berkurangnya ansietas
b. Menghindari makan makanan pengiritasi atau minuman yang mengandung kafein dan alcohol
c. Mempertahankan keseimbangan cairan
d. Mentoleransi terapi intervena sedikitnya 1,5 L/hari
e. Minum sampai 6-8 gelas/hari
f. Mempunyai haluaran urin kira-kira 1 L setiap hari
g. Menunjukan turgor kulit yang adekuat
h. Memenuhi program pengobatan
i. Memilih makanan dan minuman bukan pengiritasi
j. Menggunakan obat-obatan sesuai resep
k. Melaporkan nyeri berkurang.
( Smeltzer, 2002 )


DAFTAR PUSTAKA
• Dongoes, Marlynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 8. EGC; Jakarta
• Mansjoer, Arif. 2000.Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta
• Price, Sylvia. A. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Prose-proses Penyakit. Edisi 4. EGC : Jakarta
• Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner dan Suddanth. Judul Asli : Brunner and Suddarthis Text book of Medical Surgical Nursing. Alih Bahasa : Agung Waluyo. Volume 2. EGC : Jakarta

ASKEP GAGAL GINJAL KRONIS

ASKEP GAGAL GINJAL KRONIK (CRF/ CRONIC RENAL FAILURE)



A. Pengertian gagal ginjal Kronik

Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).

B. Etiologi

Penyebab gagal ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2 kelompok :

1. Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, Dm

2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih, Refluks ureter,
Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan
Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk
Obstruksi saluran kemih
Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama
Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal






C. Patofisiologi

Dua pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada Gagal ginjal Kronis:
1. Sudut pandang tradisional
Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi –fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya, misalnya lesi organic pada medulla akan merusak susunan anatomic dari lengkung henle.
2. Pendekatan Hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh
Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul bila jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.


Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang terdapat dalam ginjal turun dibawab normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah.
Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.







D. Perjalanan klinis

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 atadium

a Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %).
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
b Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %).
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun.
Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.

c Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejala gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan fungsi ginjal. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,
kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meniggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

E . Manifestasi klinis

1. Gangguan pernafasan
2. Oedema
3. Hipertensi
4. Anoreksia, nausea, vomitus
5. Ulserasi lambung
6. Stomatitis
7. Proteinuria
8. Hematuria
9. Letargi, apatis, penuruna konsentrasi
10. Anemia
11. Perdarahan
12. Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit
13. Distrofi renal
14. Hiperkalemia
15. Asidosis metabolic


F . Test diagnostik

1. Urine : yang diperiksa adl
a Volume : Biasanya kurang dari 400/24 jam (oliguria)
b Warna :Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus,bateri
c Sedimen : Kotor kecoklatan menunjukan adanya darah
d Berat jenis : Kurang dari 1,015 menunjukan kerisakan ginjal berat
e Kreatinin : Mungkin agak menurun
f Protein : Derajat tinggi protein uria (+3-+4)
2. Darah : yang diperiksa adl
a Bun / kreatinin : Kadar kreatinin darah 10 mg/dl
b Hitung darah lengkap : Menurun pada adanya anemia Hb : biasanya kurang7-8g/dl
c Sel darah merah : Waktu hidup menurun pada eritro poetin
d Natrium serum : Mungkin rendah bila ginjal kehabisan natrium
e Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi
f Magnesium fosfat : Meningkat
g Protein : Menurun
h Osmolaritas serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg
3. Pielografi intravena
a Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
b Pielografi retrograde
c Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
Arteriogram ginjal
d Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
5. Ultrasono ginjal ( USG ginjal )
Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsi ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis
7. Endoskopi ginjal nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
8. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

G. Penatalaksanaan

1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ; menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ; menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ; hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.




ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian
a Aktivitas /Istirahat
Apakah ada gejala keletihan,kelemahan
b Sirkulasi
Apakah ada hipotensi edema jaringan umum, pucat
c Eliminasi
Perubahan pola berkemih, disuria , retensi abdomen kembung
d Makanan/cairan
Peningkatan berat badan (edem), penurunan bereat badan, mual ,muntah, anoreksia. Nyeri ulu hati
e Neurosensori
Sakit kepala, kram otot/kejang
f Pernapasan
Dispnea, takipnea, peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan, bau ammonia, batuk produktif.
g Keamanan
demam, petekie,pruritus, kulit kering

Diagnosa keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium.
3Gangguan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan intake (Diit) dan effect uremia yang mengakibatkan malnutrisi protein – caloriPotensial Infeksi sehubungan dengan penekanan sistim imun akibat uremia.

Resiko Tinggi terjadinya gangguan persepsi / sensori, gangguan proses pikir sehubungan dengan abnormalitasnya zat – zat kimia dalam tubuh yang dihubungakan dengan uremia.

Gangguan perfusi jaringan renal sehubungan dengan kerusakan nepron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme


. Perubahan membrane mukosa oral berhubungan dengan iritasi kimia.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan aktivitas, gangguan status metabolic.

Rencana tindakan :

NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INYERVENSI
1. Kelebihan volume cairan sehubungan dengan ketidakmampuan ginjal mengeskkresi air dan natrium
Tujuan :
Tidak terjadi kelebihan volume cairan dengan criteria :
a Tidak ada oedema
b BB tidak meningkat
c Tanda vital dalam batas normal
1. Timbang berat badan pasien setiap hari
2. Ukur intake dan output tiap 24 jam,
3. Ukur tekanan darah
4. Kaji status mental,
5. Monitor oedema, distensi vena jugularis,
6. Ukur CVP juguliris
7. Monitor ECG
8. Monitor data laboratorium : Serum Natrium, Kalium, Clorida dan bicarbonat.
9. Berikan Diuretic sesuai pesanan dan monitor terhadap responnya.

2. Gangguan Nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan pembatasan intake (Diit) dan effect uremia yang mengakibatkan malnutrisi protein – calori Tujuan
Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan criteria :
a BB klien stabil
b Tidak ada mual dan muntah
1. Kaji terhadap adanya Mual, muntah dan anorexia.
2. Monitor intake makanan dan perubahan berat badan
3. Monitor data laboratorium : Serum protein, Lemak, Kalium dan natrium.
4. Berikan makanan sesuai diet yang dianjurkan dan modifikasi sesuai kesukaan Klien.
5. Bantu atau anjurkan pasien untuk melakukan oral hygiene sebelum makan.
6. Berikan antiemetik dan monitor responya.
7. Kolaborasi denga ahli diet untuk pemberian diit yang tepat bagi pasien.

3. Potensial Infeksi sehubungan dengan penekanan sistim imun akibat uremia.
Tujuan
Tidak terjadi infeksi dengan criteria :
a Tanda vital normal
b Tidak ada tanda-tanda infeksi

1. Kaji terhadap adanya tanda- tanda infeksi.
2. Monitor temperatur tiap 4 – 6 jam : Monitor data laboratorium : WBC : Darah, Urine, culture sputum. Monitor serum Kalium
3. Pertahankan tekhnik antiseptik selama perawatan dan patulah selalu universal precaution.
4. Pertahankan kebersihan diri, status nutrisi yang adekuat dan istirahat yang cukup.

4. Resiko tinggi terjadinya kerusakan integritas kulit sehubungan dengan efek uremia.
Tujuan
Mempertahankan kulit utuh klien dengan criteria
a Tidak ada pruritus
b Kllien dapat mempertahankan pola peawatan kulit

1. Kaji terhadap kekeringan kulit, Pruritis, Excoriations dan infeksi.
2. Kaji terhadap adanya petechie dan purpura.
3. Observasi terhadap perubahan perilaku, adanya neuropathi perifer, rasa terbakar, kram otot dan gejala paresthesia lainnya.
4. Lakukan perawat kulit secara benar.
5. Berikan pengobatan antipruritis sesuai pesanan.



5. Resiko Tinggi terjadinya gangguan persepsi / sensori, gangguan proses pikir sehubungan dengan abnormalitasnya zat – zat kimia dalam tubuh yang dihubungakan dengan uremia.
Tujuan
Tidak terjadi gangguan sensori
1. Kaji keadaan pasien secara umum.
2. Minta pasien untuk mengungkapkan perasaannya secara terbuka.
3. Bantu pasien untuk memecahkan masalah .
4. Jelaskan pasien tentang permasalahan yang terjadi.
5. Rujuk pasien kekonseling bila dibutuhkan

6. Gangguan perfusi jaringan renal sehubungan dengan kerusakan nepron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme
1. Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya)
2. Monitor data-data laboratorium : Serum pH, Hidrogen, Potasium, bicarbonat, calsium magnesium, Hb, HT, BUN dan serum kreatinin.
3. Jangan berikan obat – obat Nephrothoxic.
4. Berikan pengobatan sesuai pesanan / permintaan dokter dan kaji respon terhadap pengobatan

ASKEP DHF

ASKEP DHF (dengue Haemoragic Fever )
1.Pengertian
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina). (Christantie Effendy, 1995).
2.Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.
3.Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
4.Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15 hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien.

Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.
5.Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b. Manifestasi perdarahan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, purpura, ekimosis
3) Epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena.
c. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
d. Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
e. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

6.Klasifikasi
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) :
1. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, , trombositopenia dan hemokonsentrasi.uji tourniquet
2. Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
3. Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
4. Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.

7.Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan suhu pertama kali.

8.Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
a. Demam chiku nguya.
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b. Demam tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis relatif.
c. Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
d. Purpura trombositopenia idiopati (ITP)
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi hemokonsentrasi.

9.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
1. Tirah baring atau istirahat baring.
2. Diet makan lunak.
3. Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
a. Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
b. Hematokrit yang cenderung mengikat.



10.Pencegahan
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
3. Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
a. Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b. Tanpa insektisida
Caranya adalah :
a) Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
b) Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c) Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.


Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah (diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi).
1. Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a. Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data subyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
a) Lemah.
b) Panas atau demam.
c) Sakit kepala.
d) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
e) Nyeri ulu hati.
f) Nyeri pada otot dan sendi.
g) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
h) Konstipasi (sembelit).




b. Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien.
Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
a) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
b) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
c) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
d) Hiperemia pada tenggorokan.
e) Nyeri tekan pada epigastrik.
f) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
g) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :
a. Ig G dengue positif.
b. Trombositopenia.
c. Hemoglobin meningkat > 20 %.
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
e. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.



Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil
a. SGOT/SGPT mungkin meningkat.
b. Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
c. Waktu perdarahan memanjang.
d. Asidosis metabolik.
e. Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

2. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 yaitu :
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
2) Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
4) Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
5) Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
6) Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
7) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
8) Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
9) Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.



3. Perencanaan Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia). Tujuan :
a. Suhu tubuh normal (36 – 370C).
b. Pasien bebas dari demam. a) Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
b) Anjurkan pasien untuk banyak minum liter/24 jam.
c) Berikan kompres hangat.
d) Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
e) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.

2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit Tujuan :
a. Rasa nyaman pasien terpenuhi
b. Nyeri berkurang atau hilang a) Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
b) Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
c) Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
d) Berikan obat-obat analgetik
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
a) Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
b) Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
c) Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
d) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
e) Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
f) Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.

4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
a) Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
b) Observasi tanda-tanda syock.
c) Berikan cairan intravena sesuai program dokter
d) Anjurkan pasien untuk banyak minum.
e) Catat intake dan output.
5. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan :
a. Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
b. Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
a) Kaji keluhan pasien.
b) Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
c) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
d) Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.

6. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh
Tujuan :
a. Tidak terjadi syok hipovolemik.
b. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
c. Keadaan umum baik. a) Monitor keadaan umum pasien
b) Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
c) Monitor tanda perdarahan.
d) Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
e) Berikan transfusi sesuai program dokter.
f) Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.

7. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia Tujuan :
a. Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
b. Jumlah trombosit meningkat.
a) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
b) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
c) Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
d) Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.

8. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan :
Kecemasan berkurang.
a) Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
b) Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
c) Tunjukkan sifat empati
d) Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
e) Gunakan komunikasi terapeutik


.
4.Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.
5.Evaluasi Keperawatan.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
a. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b. Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
c. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
d. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
e. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
f. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
g. Infeksi tidak terjadi.
h. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
i. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.






DAFTAR PUSTAKA
a. Sunaryo, Soemarno, (1998), Demam Berdarah Pada Anak, UI ; Jakarta.
b. Effendy, Christantie, (1995), Perawatan Pasien DHF, EGC ; Jakarta.
c. Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
d. Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ; Jakarta.

ASKEP DECOMCORDIS

DECOMPENSASI CORDIS / GAGAL JANTUNG KONGESTIF


A. PENGERTIAN

Suatu kondisi bila cadangan jantung normal (peningkatan frekwensi jantung, dilatasa, hipertrophi, peningkatan isi sekuncup) untuk berespon terhadap stress tidak adekwat untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, dan akibatnya gagal jantung.

B. PENYEBAB KEGAGALAN
a Disritmia (bradikardi,tachicardi)
b Malfungsi katub (stenosis katub pulmonal/aortik)
c Abnormalitas otot jantung (kardiomiopati, aterosklerosis koroner)
d Angina pectoris, berlanjut infark miocard akut.
e Ruptur miokard

C. RESPON TERHADAP KEGAGALAN
1. Peningkatan tonus simpatis
Peningkatan sistem saraf simpatis yang mempengaruhi arteri vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis membantu mempertahankan tekanan darah normal.
2. Retensi air dan natrium
Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan manahan natrium dan air dengan cara demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central dan aliran balik vena.

D. TANDA DAN GEJALA GAGAL JANTUNG
1. Kegagalan ventrikel kiri
Tanda dan gejala :
a Kongesti vaskuler pulmonal
b Dispnoe, nyeri dada dan syok
c Ortopnoe, dispnoe nocturnal paroxysmal
d Batuk iritasi, edema pulmonal akut
e Penurunan curah jantung
f Gallop atrial –S4, gallop ventrikel-S1
g Crackles paru
h Disritmia pulsus alterans
i Peningkatan BB
j Pernafasan cyne stokes
k Bukti-bukti radiografi tentang kongesti vaskuler pulmonal

2. kegagalan ventrikel kanan
Tanda dan gejala :
a Curah jantung rendah
b Distensi vena jugularis
c Edema
d Disritmia
e S3 dan S4 ventrikel kanan
f Hipersonor pada perkusi
g Immobilisasi diafragma rendah
h Peningkatan diameter pada antero posterial

Klasifikasi gagal jantung (menurut Killip)
1. Tidak gagal
2. Gagal ringan sampai menengah
3. Edema pulmonal akut
4. Syock kardiogenik

Sifat nyeri pada pasien dengan decompensasi cordis
1. Akut
Timbul secara mendadak dan segera lenyap bila penyebab hilang. Ditandai oleh : nyeri seperti tertusuk benda tajam, pucat, disritmia, tanda syock kardiogenik (akral dingin gan perfusi turun)
2. Kronis
Nyeri yang terjadi berkepanjangan hingga berbulan-bulan. Penyebab sulit dijelaskan dan gejala obyektif lidak jelas umumnya disertai dengan gangguan kepribadian serta kemampuan fungsional

Derajat nyeri
I. Ringan : tidak mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
II. Sedang : mengganggu ADL dan pasien dapat tidur
III. Berat : mengganggu ADL dan pasien tidak dapat tidur

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a EKG : Hipertropy atrial dan ventricular, penyipangan aksis,disritmia dan kerusakan pola
b Scan jantung : tindakan penyuntikan mfraksi dan memperkirakan gerakan dinding
c Kateterisasi jantung : Tekanan abnormal merupakan indikasi untuk membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri stenosis katup insufisiensi
d Enzim hepar : Meningkat dalam gagal/ kongesti hepar
e Elektrolit : mungkin berubah karena perpindahan cairan
f BUN , kreatinin : peningkatan BUN merupakan tanda penurunan perfusi ginjal
g Rontgen dada : dapat menunjukan pembesaran jantung atau perubahan pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal



F. PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG
Bertujuan :
1. Menurunkan kerja jantung
2. Meningkatkan gurah jantung dan kontraktilitas miocard
3. Menurunkan retensi garam dan air

Pelaksanaannya meliputi :
1) Tirah Baring
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan.
2) Pemberian diuretik
Akan menurunkan preload dan kerja jantung
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnoe berat.
4) Reduksi volume darah sirkulasi
Dengan metode plebotomi, yaitu suatu prosedur yang bermanfaat pada pasien dengan edema pulmonal akut karena tindakan ini dengan segera memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian serta sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera.
5) Terapi nitrit
Untuk vasodilatasi perifer guna menurunkan afterload.
6) Terapi digitalis
Obat utama untuk meningkatkan kontraktilitas (inotropik), memperlambat frekwensi ventrikel, peningkatam efisiensi jantung.

7) Inotropik positif
a Dopamin
Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik beta-adrenergik. Dan reseptor dopamine ini mengakibatkankeluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.

b Dobutamin
Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan tachicardi.


ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Aktifitas
Gejala :keletihan terus menerus sepanjang hari
Insomnia
Tanda : Gelisah
Perubahan tanda vital
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi miokard infak penyakit katup jantung
Tanda : tensi mungkain rendah
Tekanan nadi sempit menunjukan penurunan volume sukuncup
Takikardia , Disritmia ,
Nadi apical berubah posisi secara inferior ke kiri
Terdapat bunyi S3 S1 dan S2 munghkin lemah
3. Eleminasi
Gejala : Penurunan berkemih
Berkemih malam hari ( nocturia )

4. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia , mual , muntah
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Penambahan berat badan

5. Pernafasan
Gejala : Dipnea saat aktivitas
Batuk dengan / tanpa sputum
Penggunaan alat bantuan pernafasan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan

a Perubahan kontraktilitas miokard
b Perubahan frekuensi irama
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunya laju filtrasi glomerolus meningkatnya produksi ADH dan retensi natium
3. Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan
Ketidakmampuan untuk memenuhi metabolisme otot rangka sekunder terhadap penurunan curah jantung,:
4. Kurang pengetahuan program pengobatan berhubungan dengan kurang informasi



C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
a Perubahan kontraktilitas miokard
b Perubahan frekuensi irama Klien memperlihatkan tanda-tanda stabilitas haemodinamik, dengan kriteria frekuensi denyut jantung stabil dalam batas normal ( 70x/mnt) tekanan darah dbn (120/80 mmHg  10 mmHg)
a. Pantau tanda-tanda vital (terutama T/Dengan, DJ).
b. Auskultyasi nadi apical
c. Catat bunyi jantung
d. Palpasi nadi perifer
e. Pantau haluan urine
f. Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat-obatan
Nitropusin (vasodilator)
Digitalis
Cek lab CK CKMB – LDH


2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunya laju filtrasi glomerolus meningkatnya produksi ADH dan retensi natium Klien mengetahui jumlah cairan yang masuk dan keluar
Berat baadan stabil
Tidak adanya oedema a Pantau haluan urin catat jumlah dan warna setiap pasi berkemih
b Hitung keseimbangan cairan masuk dan keluar
c Ubah posisi dengan sering, tinggikan kaki8 bila duduk
d Auskultasi bunyi nafas cata penurunan atau adanya bunyi tambahan
e Pantau tanda vital

3. 2. Intoleransi aktifitas yang b/d
Ketidakmampuan untuk memenuhi metabolisme otot rangka sekunder terhadap penurunan curah jantung, ditandai dengan:
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas dengan kriteria:
a Klien dapat memenuhi ADL ringan
b Klien tidak cepat lelah a Pantau ulang tanda-tanda vital (terutama TD, T, N dan RR) sebelum, selama, setelah, istirahat 5" dari ambulasi
b Pertahankan pasien tirah baring selama fase akut/awal sakit
c Nilai tingkat kemampuan ambulasi pasien sesuai kemampuan
d Bicarakan dengan keluarga/pasien tentang jadwal/program ambulasi sesuai toleransi pasien
e Terangkan pada keluarga/pasien tentang manfaat tirah baring dan waktu istirahat yang cukup
f Kolaborasi
c Fisioterapi bila ada indikasi
d Terapi O2 bila ada indikasi (Dyspnoe, orthopnoe)


4. Kurang pengetahuan program pengobatan berhubungan dengan kurang informasi Klien dapat mengerti tentang proses pengobatan penyakitnya setelah mendapat penjelasan dari petugas a. Diskusikan tentang fungsi jantung normal
b. Diskusikan tentang tujuan aturan dan efek samping obat
c. Kolaborasi denagan tim gizi untuk penjelasan tentang diet pasien
d. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya



DAFTAR PUSTAKA
Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Lewis T, Disease of The Heart, New York, Macmillan 1993
Morris D. C. et.al, The Recognation and treatment of Myocardial Infarction and It’sComplication.
Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, edisi VI, volume I : Hudak dan Gallo Hal. 360-379, Penerbit buku kedokteran.

ASKEP DIABETUS MILLITUS

ASKEP DIABETES MELLITUS

1.Pengertian diabetes mellitus
a. Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long)
b. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. (Brunner dan Sudart)
c. Diabetes mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (WHO).
d. Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).
2.Etiologi
Etiologi dari diabetes mellitus tipe II sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa diabetes mellitus adalah merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu penyebab yang mendasarinya.
Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab yaitu :
a) Faktor genetik
Riwayat keluarga dengan diabetes :
Pincus dan White berpendapat perbandingan keluarga yang menderita diabetes mellitus dengan kesehatan keluarga sehat, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita diabetes mellitus mencapai 8, 33 % dan 5, 33 % bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1, 96 %.
b) Faktor non genetik
1) Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic terhadap diabetes mellitus.
2) Nutrisi
a.)Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
b.)Malnutrisi protein
c.)Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.
3) Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
4) Hormonal Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat

3.Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :
a. Diabetes mellitus type insulin, Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM) yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset diabetes (JOD), klien tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
b. Diabetes mellitus type II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), yang dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
1.)Non obesitas
2.)Obesitas

Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pankreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer.
Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak dengan obesitas.
c. Diabetes mellitus type lain

1) Diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.
2) Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :
Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
3) Diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.

4.Patofisiologi
Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut :
a) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml.
b) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis.
c) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.

Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter.

5.Gambaran Klinik
Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang.
Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.

6.Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus umumnya dipikirkan dengan adanya gejala khas diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsi, poliphagia, lemas dan berat badan menurun. Jika keluhan dan gejala khas ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang lebih 216 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa

7.Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.



Pada penderita dengan diabetes mellitus harus pantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya. Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
a. J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan
b. J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
c. J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).
Diet pada penderita diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a. Diet A : terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %, lemak 30 %, protein 20 %.
b. Diet B : terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c. Diet B1 : terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d. Diet B1 dan B¬2 diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal ginjal.

1) Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.
2) Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
1. Kurang tahan lapan dengan dietnya.
2. Mempunyai hyperkolestonemia.
3. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
4. Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
5. Telah menderita diabetes dari 15 tahun

Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a. Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b. Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %
c. Masih muda perlu pertumbuhan.
d. Mengalami patah tulang.
e. Hamil dan menyusui.
f. Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g. Menderita tuberkulosis paru
h. Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i. Menderita selulitis.
j. Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.

Indikasi B2 dan B3
Diet B2 diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
b. Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
c. Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari.
Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.

Indikasi diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
a. Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
b. Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
c. Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
d. Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
e. Dipilih lemak yang tidak jenuh.
Semua penderita diabetes mellitus dianjurkan untuk latihan ringan yang dilaksanakan secara teratur tiap hari pada saat setengah jam sesudah makan. Juga dianjurkan untuk melakukan latihan ringan setiap hari, pagi dan sore hari dengan maksud untuk menurunkan BB.
Penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan pemahaman maka dilakukan penyuluhan melalui perorangan antara dokter dengan penderita yang datang. Selain itu juga dilakukan melalui media-media cetak dan elektronik.






8.Komplikasi
a.Akut
1) Hypoglikemia
2) Ketoasidosis
3) Diabetik
b.Kronik
1) Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2) Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik, nefropati diabetic.
3) Neuropati diabetic.

B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.
Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.


1.Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes mellitus :
a. Aktivitas dan istirahat :
b. Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
c. Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
d. Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
e. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
f. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
g. Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
h. Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
i. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
j. Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.

2.Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

3.Rencana Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotic


Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
a. Pantau tanda-tanda vital
b. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
c. Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
d. Timbang berat badan setiap hari.
e. Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
2. Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
Menunjukkan tingkat energi biasanya
Berat badan stabil atau bertambah.
a Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang
b Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
c Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
d Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
e Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi

3. Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi
a Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
b Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien
c Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
termasuk pasiennya sendiri
d Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
e Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.



4. Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori a Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
b Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
c Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan
d Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.

5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.

a Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
b )Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
c Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan
d Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.

Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan a Ciptakan lingkungan saling percaya
b Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
c Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
mengambil bagian dalam proses belajar.
d Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.








DAFTAR PUSTAKA


Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002
Sumber:http://www.ilmukeperawatan.com

insulin regulation

Table 59-6. Intravenous Insulin Therapy Protocol
General Guidelines: Goal Blood Glucose (BC) = ___ (Usually 80-180 mg/dL)
• Standard drip: 100 Unts/100 mL 0,9% NaCl via an infusion device
• Surgical patients who have received an oral diabetes medication within 24 hr should start when BG > 120 mg/dL. All other patients can start when BG ≥ 70.
• Insulin infusions should be discontinued when a patient is eating AND has recelved first dose of subcutaneous insulin
Intravenous fluids:
• Most patients will need 5-10 g of glucose/hr
- D5W or D5W1 \ 2NS at 100-200 mL/hr or equivalent (e.g. TPN, enteral feeds)
Intiating the infusion:
• Algorithm 1: start here for most patients
• Algorithm 2: For patients not controlled with Algorithm 1, or start here if s/p CABG, s/p solid organ transplant or islet cell transplant, receiving glucocorticoids, or patient with diabetes receiving > 80 units/day of insulin as an outpatient.
• Algorithm 3: For patients not controlled on Algorithm 2, NO PATIENTS START HERE without authorization from the endocrine service.
• Algorithm 4: For patients not controlled on Algorithm 3. NO PATIENTS START HERE.
• Patients not controlled with the above algorithms need and endocrine consult
Algorithm 1 Algorithm 2 Algorithm 3 Algorithm 4
BG Units/hr BG Units/hr BG Units/hr BG Units/hr
<60 = Hypoglycemia (See below for treatment)
<70 off <70 off <70 off <70 off
70-109 0.2 70-109 0.5 70-109 1 70-109 1.5
110-119 0.5 110-119 1 110-119 2 110-119 3
120-149 1 120-149 1.5 120-149 3 120-149 5
150-179 1.5 150-179 2 150-179 4 150-179 7
180-209 2 180-209 3 180-209 5 180-209 9
210-239 2 210-239 4 210-239 6 210-239 12
240-269 3 240-269 5 240-269 7 240-269 16
270-299 3 270-299 6 270-299 10 270-299 20
300-329 4 300-329 7 300-329 12 300-329 24
330-359 4 330-359 8 330-359 14 >330 28
>360 6 >360 12 >360 16
Moving from Algorithm to Algorithm:
• Moving Up: An algorithm failure is defined as BG outside the goal range (see above goal), and the GB does not change by at least 60 mg/dL within 1 hr
• Moving Down: when BG is <70 mg/dL x 2
Patient Monitoring
• Check capillary BG every hour until it is within goal range for 4 hr, then decrease to every 2 hr for 4 hr, and if remains stable may decrease to every 4 hr.
• Hourly monitoring may be indicated for critically ill patients even if they have stable BG
Treatment of Hypoglycemia (BG < 60 mg/dL
• Discontinue insulin drip AND
• Give D50W IV
- Patient awake: 25 mL (1/2 amp)
- Patient not awake: 50 mL )1 amp)
• Recheck BG every 20 min and repeat 25 mL of D50W IV if < 60 mg/dL. Restart drip once BG is > 70 mg/dL x 2 checks. Restart drip with lower algorithm (see Moving Down)
Notify the physicion:
• For any BG change > 100 mg/dL in 1 hr
• For BG > 360 mg/dL
• For hypoglycemia that has not resolved within 20 min of administering 50 ml of D50W IV and discontinuing the insulin drip.
BG, blood glucose: CABG, coronary artery bypass grafting; NS, normal saline: TPN, total parenteral nutrion.
Adapted with permission from Trence D, Kelly J, Hirsh I: The rationale and management of hyperglycemia for in-patients with cardiovascular disease.
Time for a change. J. Clin Endocrinol Metab 2003, 88:2430-2437. Copyright 2003, The Endocrine Society